Kedua adalah motif Kawung. Motif ini dijelaskan sebagai batik yang menyatu dan membentuk menyerupai sebuah lingkaran. Motif Kawung memiliki makna kesucian, sehingga boleh dipakai dalam pernikahan. Sebagai simbol kesucian motif batik ini juga sering digunakan sebagai penutup jenazah. Hal ini berhubungan dengan makna kesucian, karena orang yang sudah meninggal diharapkan agar disucikan kembali.
Motif Kawung konon juga melambangkan kesuburan. Sehingga motif batik ini dahulunya hanya boleh dipakai oleh keluarga kerajaan atau pun keluarga jauh yang memiliki gelar raden mas atau raden. Motif Kawung merupakan jenis motif batik tertua. Sama dengan motif Parang, Kawung juga memiliki nilai filosofis yang tinggi. Motif ini termasuk dalam golongan motif geometris, karena bentuknya yang merupakan lingkaran-lingkaran (ada empat lingkaran) yang membentuk menjadi satu lingkaran.
Bentuk motif Kawung juga menyerupai timbangan, sehingga ada anggapan lain bahwa motif ini tidak baik digunakan dalam pernikahan. Dikhawatirkan akan membuat pernikahan seseorang penuh pertimbangan. Dalam lingkungan keraton, motif Kawung biasanya dipakai dalam keseharian. Motif Kawung dan Parang termasuk ke dalam motrif geometris yang termasuk ke dalam motif larangan. Sehingga hanya khusus dikenakan oleh keluarga keraton. Masih ada satu jenis motif Larangan lagi, yaitu Gurdo atau Sawat.
Motif Gurdo memiliki bentuk sayap burung. Pemakai motif ini adalah raja yang dipercaya akan mendapat pengaruh besar, karena dengan motif ini diharapkan raja mampu mengayomi rakyatnya. Motif Gurdo berbentuk Lar atau Burung Garuda yang melambangkan keperkasaan dan keberanian. Burung Garuda yang juga merupakan tunggangan Dewa Wisnu, dalam motif ini melambangkan makna agar Raja memiliki keberanian dan keperkasaan sebagai seorang pemimpin.
Selain itu, masih ada beberapa jenis motif batik Yogyakarta diantaranya Sidomukti dan Sidoasih yang baisa digunakan dalam perkawinan. Motif-motif tersebut juga menyimpan nilai filosofis tersendiri yang diharapkan dapat berpengaruh pada pemakainya. Hal inilah mengapa Keraton pada masa itu memiliki pengaruh besar secara politik dan budaya dengan memberikan aturan-aturan mengenai pemakaian batik.
Pada batik Jawa, terutama Yogyakarta dikenal beberapa motif khas batik diantaranya Parang, Kawung, dan Gurdo atau Sawat. Dalam setiap jenis motifnya mengandung makna dan nilai-nilai filosofis yang berbeda. Sehingga pemakainnya pun akan disesuaikan dengan acaranya.
Parang memiliki arti senjata. Sehingga motif batik ini tidak baik jika dikenakan pada acara pernikahan atau untuk mendatangi acara pernikahan. Motif Parang memiliki tiga bagian, yaitu Parang Klithik, Parang, Barong, dan Parang Rusak. Motif Parang Klithik adalah motif Parang dengan ukuran yang kecil. Sedangkan Parang Rusak adalah motif Parang dengan ukuran sedang. Sementara Parang Barong merupakan motif parang berukuran besar. Motif ini dipercaya memiliki makna yang sakral dan suci. Sehingga zaman dahulu motif batik ini hanya boleh dipakai oleh Sultan atau Raja. Selain itu motif ini juga hanya boleh dipakai pula untuk keluarga raja pada acara-acara kenegaraan.
Motif Parang melambangkan perjuangan manusia melawan ‘kejahatan’ secara internal, atau nafsu tidak baik yang ada dalam diri manusia itu sendiri. Perjuangan ini dengan cara mengontrol atau mengendalikan diri sendiri secara bijaksana, sehingga kebaikan dari dalam diri akan keluar mengalahkan nafsu (diri) jahat (kotor). Sedangkan Parang Barong hanya khusus dikenakan Sultan saat prosesi atau upacara kenaikan takhta.
Motif Parang memang termasuk ke dalam motif Larangan. Sehingga rakyat biasa atau golongan bukan keraton tidak diperkenankan memakai batik motif ini. Motif Parang memiliki makna sebagai penangkal kebatilan, lambang kekuatan, kecepatan, pertumbuhan, dan kesucian. Dengan nilai filosofis inilah yang mampu menjelaskan mengapa motif Parang tidak boleh dikenakan sembarang orang. Motif ini hanya dipakai oleh orang yang dianggap ‘pantas’.
Meski batik Jawa, yaitu Yogyakarta dan Surakarta memiliki banyak kesamaaan, apabila dilihat secara kasatmata sebenarnya memiliki perbedaan, terutama pada motif-motif yang dimiliki serta warna dasarnya. Dari segi warna batik Surakarta memiliki latar dominan adalah sogan atau coklat kekuningan. Sedangkan batik Yogyakarta mempunyai latar warna yang gelap atau hitam dan terang putih dengan ornamen coklat atau indigo. Sementara itu jika dilihat dari motifnya batik Surakarta lebih halus (smooth) feminin dan berkembang bebas. Sementara itu batik Yogyakarta memiliki motif yang memberikan kesan tegas maskulin dengan perkembangan yang diatur.
Pada pemakaiannya mode fashion batik Surakarta cenderung terbuka dan uniseks. Sedangkan batik Yogyakarta diatur dalam berbagai tingkatan. Sedangkan pada ‘motif larangan’nya berbeda, motif larangan pada batik Surakarta diantaranya udan riris, modang, dan cemungkiran. Sedangkan pada batik Yogyakarta memiliki beberapa motif diantaranya sawat, gurdo, dan parang gurdo. Sementara itu pada motif utama, yaitu motif yang dapat diidentikkan atau penanda asal motif kain, batik Yogyakarta memiliki beberapa jenis, yaitu parang, gurdo, dan kawung. Namun pada batik Surakarta tidak memiliki jenis motif utama.
Di sinilah yang benar-benar membedakan antara batik yogyakarta dan surakarta. Batik Yogyakarta memang terkenal dengan tiga motif utamanya, yaitu parang, kawung, dan gurdo. Motif tersebut merupakan motif yang paling khas Jogja. Sedanbgkan dalam batik Surakarta tidak memiliki motif gurdo, namun motif Parang. Motif ini juga memiliki perbedaan dengan batik Yogyakarta, motif parang Surakarta memiliki tambahan ornament tertentu, tidak hanya murni parang saja.
Pada dasarnya motif batik terdiri atas dua, yaitu motif geometris dan motif non geometris. Pada motif non geometris memiliki ciri motif atau corak yang tidak beraturan dan bisa berbeda antara satu sisi dengan sisi lainnya. Sedangkan motif geometris memiliki susunan yang rapi (geometris), tersusun, dan sejajar. Segi inilah yang nantinya akan membedakan motif batik Yogyakarta dan Surakarta dalam nilai-nilai filosofi yang terkandung di dalam setiap goresan chantingnya.